Misteri Kematian Diplomat Kemenlu: Kepala Terlilit Lakban, Mengapa Dugaan Bunuh Diri Tak Masuk Akal ?
Arya Daru Pangayunan (39), seorang diplomat ahli muda di Kementerian Luar Negeri, ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan di kamar indekosnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa pagi, 8 Juli 2025. Kepala Arya dilaporkan terbungkus lakban secara menyeluruh—kondisi yang langsung memunculkan berbagai pertanyaan tentang penyebab kematiannya.
Hingga Jumat (11/7), pihak kepolisian masih menyelidiki peristiwa ini dan belum menetapkan penyebab resmi.
Menurut Kapolsek Menteng, Kompol Rezha Rahandhi, jasad Arya pertama kali ditemukan oleh penjaga kos sekitar pukul 08.30 WIB. “Korban ditemukan sekitar jam 08.30 WIB,” ujar Rezha kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/7).
Rezha menyebut bahwa kondisi jasad saat ditemukan sangat mencurigakan. “Seluruh kepalanya terlilit lakban,” katanya.
Ia juga mengonfirmasi bahwa Arya berasal dari Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Belum Ada Titik Terang
Sejak awal, polisi menyatakan bahwa penyelidikan masih berlangsung dan belum bisa disimpulkan apakah kematian Arya disebabkan oleh pembunuhan, bunuh diri, atau sebab lain. “Masih dalam penyelidikan,” ujar Rezha.
Sehari setelah penemuan jasad, Rabu (9/7), polisi telah memeriksa empat saksi, termasuk tetangga, pemilik kos, penjaga kos, dan istri korban.
Selain keterangan saksi, penyidik juga mengumpulkan bukti dari rekaman kamera pengawas (CCTV) di sekitar lokasi. Namun proses ini mengalami hambatan teknis. Menurut Rezha, CCTV di area tersebut tidak menggunakan sistem perekam terpusat, melainkan menyimpan rekaman pada kartu memori di masing-masing kamera. “Kami harus memeriksa satu per satu karena datanya terpotong. Bukan CCTV tipe recorder,” jelasnya.
Untuk mendalami kasus ini, polisi telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) sebanyak tiga kali—yakni pada Selasa (8/7), Rabu (9/7), dan Jumat (11/7).
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menyampaikan bahwa olah TKP ketiga melibatkan tim forensik dari berbagai unit: kedokteran kepolisian, Puslabfor, Inafis Bareskrim Polri, serta dokter dari RSCM yang menangani autopsi.
“Proses ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan profesionalisme. Kami mohon waktu, namun kami pastikan penyelidikan akan dituntaskan,” ujarnya, Jumat (11/7).
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Karyoto, menambahkan bahwa pihaknya menargetkan hasil penyelidikan dapat dirampungkan dalam waktu sekitar satu minggu. Bukti-bukti seperti hasil otopsi, rekaman CCTV, hingga perangkat digital milik Arya tengah dianalisis tim forensik.
“Kami belum menerima hasil visum secara lengkap, dan masih akan memanggil sejumlah ahli untuk memperkuat temuan penyelidik,” kata Karyoto, Kamis malam (10/7).
Mengapa Kematian Arya Tak Logis Jika Disebut Bunuh Diri
Kondisi kematian Arya langsung memicu spekulasi. Apakah ini murni tindak kriminal biasa? Ataukah berkaitan dengan profesinya sebagai diplomat?
Arya dikenal sebagai pribadi tenang dan teliti. Ia merupakan diplomat muda yang memiliki spesialisasi kawasan yang jarang disorot: Afrika Timur dan geopolitik Laut Merah. Ia pernah ditugaskan di Kenya dan Somalia, dua wilayah dengan intensitas tinggi dalam isu keamanan maritim, perdagangan senjata, dan potensi keterlibatan jaringan intelijen asing.
Fakta-fakta di lapangan memperkuat dugaan bahwa Arya tidak meninggal karena bunuh diri. CCTV di sekitar tempat tinggalnya tidak terekam secara sistematis—rekaman hanya tersimpan dalam potongan di memori kamera. Penyelidik harus memeriksa satu per satu secara manual.
Namun, yang paling mencolok adalah kondisi jasad. Kepala Arya dibungkus lakban secara menyeluruh. Secara teknis dan forensik, sangat kecil kemungkinan seseorang mampu melakukan hal itu terhadap dirinya sendiri.
Dalam praktik forensik, kasus bunuh diri dengan metode asfiksia memang pernah ditemukan, tetapi umumnya menggunakan alat bantu seperti kantong plastik atau gas, bukan melilit kepala sendiri dengan lakban secara penuh. Selain sangat menyakitkan, tindakan ini hampir mustahil dilakukan hingga selesai, karena naluri manusia akan secara refleks menolak kehilangan oksigen dan menghentikan tindakan menyakiti diri.
Dalam kasus-kasus bunuh diri ekstrem, sering kali ditemukan alat bantu seperti cermin, sistem pengunci otomatis, atau benda pendukung lain untuk membantu pelaku menyelesaikan aksinya. Sampai saat ini, polisi belum menemukan indikasi keberadaan benda-benda seperti itu di lokasi kejadian.
Selain itu, tidak ditemukan pula surat wasiat, pesan terakhir, atau motif personal yang biasanya menyertai kasus bunuh diri. Rekam jejak digital Arya juga belum menunjukkan tanda-tanda tekanan pribadi atau gangguan psikologis.
Metode pembungkusan kepala menggunakan lakban juga mengindikasikan kemungkinan keterlibatan pihak lain. Dalam banyak kasus pembunuhan, pola lilitan yang rapi dan simetris sering kali menunjukkan tindakan sistematis—bukan tindakan impulsif individu terhadap dirinya sendiri. Jika analisis forensik menemukan bahwa lilitan dilakukan dari arah belakang, atau terdapat tekanan yang konsisten, maka kemungkinan keterlibatan orang lain semakin kuat.
Dengan mempertimbangkan semua elemen tersebut, dugaan bunuh diri menjadi tidak masuk akal. Kematian Arya menunjukkan tanda-tanda keterpaksaan dan ketidakberdayaan—bukan tindakan sukarela. Dan jika ia tidak mampu membungkus kepalanya sendiri, maka kemungkinan besar ada pihak lain yang melakukannya.
Hingga saat ini, kepolisian masih bekerja untuk mengungkap kebenaran di balik kematian Arya Daru Pangayunan. Publik menanti jawaban: apakah ini kasus kriminal murni, atau ada dimensi lain yang lebih kompleks?
Kematian seorang diplomat muda, dengan spesialisasi wilayah rawan dan tugas luar negeri yang sensitif, tentu bukan sekadar tragedi pribadi. Ini bisa jadi merupakan potongan dari teka-teki yang lebih besar.